Sebagai pedoman hidup mayoritas masyarakat Indonesia, Islam memainkan peran krusial dalam pembentukan karakter di tengah tantangan globalisasi. Pondok pesantren, melalui pendekatan integratif antara nilai Islam dan kearifan lokal, menjadi benteng strategis menghadapi tantangan ini. Serat Wedhatama sebagai warisan budaya Jawa yang kaya nilai spiritual dan moral menjadi media efektif dalam penguatan pemahaman agama Islam. Penelitian di Pondok Pesantren Bina Aksara Mulya ini mengkaji strategi pembelajaran Serat Wedhatama dan kontribusinya dalam membentuk pemahaman agama yang kontekstual berbasis budaya lokal. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pelaksanaan strategi penguatan agama Islam dalam pembelajaran Serat Wedhatama di Pondok Pesantren
Bina Aksara Mulya, implikasinya terhadap santri, serta faktor pendukung dan penghambatnya. Penelitian ini menggunakan penelitian field research dengan metode
kualitatif . Proses pengumpulan datanya melalui observasi, wawancara, dan dokumentasi. Metode analisis data menggunakan konsep Miles dan Huberman dengan tiga tahapan, yaitu mereduksi data, menyajikan data, dan menarik Kesimpulan. Teknik uji keabsahan data pada penelitian ini menggunakan
triangulasi sumber. Penelitian ini mengungkap bahwa strategi pembelajaran Serat Wedhatama melalui metode Cara Ngapak, Lanyahan, Tegesan, dan Pratelan telah menunjukkan hasil signifikan dalam meningkatkan pemahaman agama Islam secara kontekstual di kalangan santri, di mana keempat metode ini bekerja sinergis membentuk pendekatan holistik dengan kontribusi unik masing-masing. Dalam Perspektif Teori
Praktik Sosial Pierre Bourdieu, strategi ini memberikan implikasi Pesantren sebagai Arena (field) Pendidikan Islam Berbasis Budaya, Pembentukan Habitus Religius yang Reflektif, Internaliasi Modal Budaya Lokal ke dalam Pemahaman Islam, Penguatan Identitas Santri sebagai Muslim Berbudaya, Transformasi Metode Belajar: dari Hafalan Menuju Refleksi Spiritual, Produksi Wacana Baru: Santri sebagai Subjek Pengetahuan meskipun menghadapi kendala seperti heterogenitas latar belakang santri dalam penguasaan bahasa Jawa dan dasar agama, rasio gurusantri yang tidak seimbang, dan keterbatasan kompetensi pengajar dalam metode pembelajaran teks klasik, sehingga meskipun memiliki potensi besar, tetap diperlukan penyempurnaan sistem pendukung untuk optimalisasi hasil yang lebih berkelanjutan.