Penelitian ini dilatarbelakangi adanya fenomena penurunan etika dalam interaksi sosial, khususnya dalam konteks bertamu yang menjadi tantangan di era modern. Dimana, generasi muda khususnya di lingkungan masyarakat Jawa, seringkali mengabaikan nilai-nilai kesopanan dalam bertamu. Padahal, Islam dan budaya Jawa sama-sama menekankan pentingnya menjaga etika bertamu sebagai wujud penghormatan dan menjaga keharmonisan sosial. Penelitian bertujuan untuk mengkaji dan membandingkan penafsiran ayat-ayat etika bertamu dalam Tafsir Al-Huda dan Tafsir Al-Ibrīz menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan muqāran (komparatif) berbasis studi kepustakaan (library research). Analisis dilakukan secara deskriptif-komparatif terhadap empat kelompok ayat utama, yaitu QS. An-Nur: 27–29; QS. An-Nur: 58–59 dan QS. Al-Ahzab: 53; QS. Adz-Dzariyat: 24–30 yang memuat istilah isti’nās, isti’dzān, dan ḍaif untuk melihat persamaan, perbedaan, serta faktor yang mempengaruhi penafsiran kedua mufassir. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Bakri Syahid menafsirkan QS. An-Nur 27–29 (istiʾnās) dengan mengaitkannya pada kemerosotan moral masyarakat modern. QS. An-Nur 58–59 (istiʼdzān) sebagai etika domestik memuat larangan memasuki kamar orang tua pada tiga waktu aurat. QS. Al-Ahzab 53 sebagai larangan bertamu tanpa izin dan penekanan bertamu seperlunya. QS. Adz-Dzariyat 24–30 (ḍaif) hanya diterjemahkan dengan nuansa lokal melalui pilihan kata. Bisri Mustofa, menonjolkan adab Islam yang berpadu dengan etika Jawa. Ayat istiʾnās diuraikan dalam lima poin utama yaitu, salam dan izin, memperkenalkan diri, larangan duduk di depan pintu, dan pengecualian istiʼdzān dalam kondisi darurat, dengan disertai contoh. Ayat istiʼdzān ditafsirkan sebagai pedoman etika domestik dengan dampak sosial dan etika bertamu kepada pemimpin dan ulama’ disertai kritik sosial. Ayat ḍaif diterjemahkan dengan unggah-ungguh basa dan nuansa lokal. Persamaan keduanya adalah terletak pada penekanan etika bertamu, pendekatan sosial dan contoh langsung dengan pendekatan budaya Jawa. Sedangkan perbedaannya meliputi, gaya bahasa, pendekatan penafsiran, model terjemahan dan sumber rujukan yang dipengaruhi oleh latar belakang kedua mufassir.