Penelitian ini dilatarbelakangi oleh perbedaan interpretasi ayat-ayat nusyūz (QS. Al-Nisā’ [4]: 34 dan 128) yang kerap menimbulkan perdebatan, khususnya terkait relasi suami istri dan isu keadilan gender dalam Islam. Interpretasi yang berbeda antara tafsir klasik dan kontemporer memiliki implikasi signifikan terhadap pemahaman hak dan kewajiban dalam rumah tangga serta penanganan konflik. Oleh karena itu, penelitian ini merumuskan dua masalah utama: (1) Bagaimana penafsiran ayat-ayat nusyūz oleh Imām Abū ‘Abd Allāh Muḥammad ibn Aḥmad al-Qurṭubī dalam Tafsīr al-Jāmi‘ li Aḥkām al-Qur’ān dan Syekh ‘Abd al-‘Azīz ibn Marzūq al-Ṭarīfī dalam Al-Tafsīr wa al-Bayān li Aḥkām al-Qur’ān? (2) Sejauh mana relevansi kedua tafsir tersebut dalam konteks kehidupan modern, khususnya terkait isu keadilan gender dan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT)? Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode analisis komparatif. Data dikumpulkan melalui studi kepustakaan (library research) dengan menelaah secara mendalam kitab Tafsīr al-Jāmi‘ li Aḥkām al-Qur’ān dan Al-Tafsīr wa al-Bayān li Aḥkām al-Qur’ān, serta literatur pendukung lainnya seperti buku, skripsi, dan jurnal ilmiah yang relevan dengan tema nusyūz, keadilan gender, dan tafsir kontemporer. Analisis dilakukan dengan membandingkan, mengidentifikasi perbedaan, dan menilai relevansi interpretasi kedua mufasir. Hasil penelitian menunjukkan perbedaan fundamental dalam pendekatan hermeneutika dan konsepsi hak-kewajiban antara kedua tafsir. Al-Qurṭubī cenderung tekstual-literal, menginterpretasikan qiwāmah sebagai otoritas dominan suami dan membenarkan al-darb (memukul) secara fisik dengan batasan ketat sebagai tahapan disipliner terakhir. Sebaliknya, al-Ṭarīfī mengadopsi pendekatan kontekstual-relasional, memahami qiwāmah sebagai tanggung jawab kepemimpinan yang adil dan berbasis kasih sayang, serta cenderung menafsirkan al-darb secara simbolik atau menolaknya sebagai kekerasan fisik. Dalam konteks kekinian, tafsir al-Qurṭubī memiliki relevansi terbatas dan berpotensi disalahgunakan terkait isu KDRT. Sementara itu, tafsir al-Ṭarīfī sangat relevan dan konstruktif, dengan penekanannya pada dialog, tanggung jawab bersama, kasih sayang, dan penolakan kekerasan fisik. Pendekatan al-Ṭarīfī lebih sesuai untuk membangun keluarga Islami yang harmonis, adil, dan responsif terhadap tantangan modern. Penelitian ini berimplikasi pada pengayaan metodologi tafsir, rekonstruksi konsep keadilan gender dalam Islam, serta memberikan panduan praktis bagi pendidikan keluarga dan advokasi anti-KDRT.